BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Manusia
adalah mahluk yang tidak dapat hidup sendiri yakni membutuhkan orang lain dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik dengan cara jual beli, sewa
menyewa,pinjam-meminjam, bercocok tanam atau usaha- usaha yang lain, baik dalam
urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Agar hubungan mereka
berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan yang
sebaiki-baiknya. Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan cara
tertentu yang setiap hari pasti dilakukan yang kadang kita tidak tahu apakah
sah ataupun tidak. Utang piutang juga suatu kegiatan yang sangat kental dengan
kehidupan manusia, dan kedua kegiatan muamalah tersebut sangat erat dengan
riba. Oleh krena itu, pada makalah ini akan memebahas tentang jual- beli, utang
piutang, agar para penbaca tidak masuk dalam jurang riba.
B. Rumusan Masalah
1.
Menjelaskan tentang Jual beli dalam islam?
2.
Menjelaskan tentang Hutang piutang dalam islam?
3.
Menjelaskan tentang Riba dalam islam?
C. Tujuan
Mahasiswa mampu menjelaskan materi tentang jual beli,
hutang piutang dan riba dalam konteks ushul fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Jual Beli
1.
Pengertian Jual
Beli
Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang
yang lain dengan cara yang tertentu (akad).
2.
Rukun Jual Beli
Rukun
jual beli diantaranya, yaitu sebagai berikut:
a. Penjual dan pembeli
Syarat
penjual dan pembeli, yaitu:
1) Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau
bodoh tidak sah jual belinya.
2) Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa). Keterangan di
atas maksudnya yaitu suka sama suka.
3) Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang yang
mubazir itu ditangan walinya. Firman Allah SWT dalam QS An-Nisa: 5 yang
berbunyi:
Artinya:
“
Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu, berilah mereka belanja”.
(QS An-Nisa: 5)
4) Balig (berumur 15 tahun ke atas/dewasa). Anak kecil
tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum
sampai umur dewasa. Menurut pendapat sebagian ulama, mereka diperbolehkan
berjual beli barang yang kecil-kecil, karena jika tidak diperbolehkan sudah
tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama islam sekali-kali tidak
akan menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.
b. Uang dan benda yang dibeli
Uang
dan benda yang dibeli harus memiliki syarat, yaitu:
1) Suci, barang yang najis tidak sah untuk dijual dan
tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai
yang belum disamak.
2) Bermanfaat, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada
manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam
arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang dalam kitab suci. Firman
Allah SWT dalam surat Al-Isra ayat 27 yang berbunyi:
3) Barang itu dapat diserahkan, tidak sah mejual suatu
barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam
laut, barang rampasan yang masih berada di tangan yang merampasnya, barang yang
sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan).
4) Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si
pembeli, zat, bentuk, kadar (ukuran), dan sifat-sifatnya jelas sehingga antara
keduanya tidak akan terjadi kecoh-mengecoh. Keterangannya adalah hadis Abu
Hurairah yang telah disebutkan diatas. Yang wajib diketahui zatnya atau
kadarnya, umpamanya sukatan atau timbangannya. Kalau barang itu bercampur
dengan yang lain, umpamanya sekarung beras, cukup melihat sebagian barang, asal
yang lainnya sama dengan contoh yang dilihat itu. Begitu juga sesuatu yang
telah dimaklumi menurut kebiasaan, seperti bawang yang masih di dalam tanah
walaupun keadaan barang boleh jadi ada
lebih kurangnya serta bakal merugikan salah satu pembeli atau pejual, tetapi
hanya sedikit. Keadaan yang sedikit itu dimaafkan karena kemaslahatan untuk
memudahkan kelancaran pekerjaan. Kata Ibnu Qaiyim, “ Sesungguhnya orang yang
ahli dapat mengetahui barang yang berada di dalam tanah dengan melihat yang di
atasnya, maka jika barang di dalam tanah tidak boleh dijual, sudah tentu akan
memperlambat pekerjaan yang tidak semestinya.
c. Lafaz ijab dan Kabul
Ijab
adalah perkataan penjual, sedangkan Kabul adalah ucapan si pembeli.
Keterangannya yaitu ayat yang mengatakan bahwa jual beli itu suka sama suka,
sedangkan suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecuali dengan
perkataan, karena perasaan suka itu bergantung pada hati masing-masing. Ini pendapat kebanyakan ulama.
Menurut
ulama yang mewajibkan lafaz, lafaz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat,
yaitu:
1) Keadaan ijab dan Kabul berhubungan, artinya salah satu
dari keduanya pantas menjadi jawaban
dari yang lain dan belum berselang lama.
2) Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walaupun
lafaz keduanya berlainan.
3) Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain,
seperti katanya, “Kalau saya jadi pergi, saya jual barang ini sekiann.”
4) Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu tidak sah.
Apabila
rukun atau syaratnya kurang, jual beli dianggap tidak sah. Di bawah ini akan
diuraikan beberapa contoh jual beli yang tidak sah karena kurang rukun atau
syaratnya:
1) Di negeri kita ini orang telah biasa melakukan
pekerjaan mencampurkan hewan betina dengan hewan jantan. Pencampuran itu
ditetapkan dengan harga yang tertentu untuk sekali campur. Jadi, berarti
menjual air mani jantan. Ini tidak sah menurut cara jual beli karena tidak
diketahui kadarnya, juga tidak diserahkan.
Akan
tetapi, dengan jalan dipersewakan dalam masa yang tertentu, menurut mazhab
Syafii dan Hambali tidak ada halangan. Adapun dengan jalan meminjam, maka para
ulama bersepakat bahwa tidak ada halangan, bahkan dianjurkan oleh syara’
2) Menjual suatu barang yang baru dibelinya sebelum
diterima, karena miliknya belum sempurna. Tanda sesuatu yang baru dibeli dan
belum diterimanya adalah barang itu masih dalam tanggungan si penjual. Berarti
kalau barang itu hilang, si penjual harus mengganti.
3) Menjual buah-buahan sebelum nyata pantas dimakan
(dipetik), karena buah-buahan yang masih kecil sering rusak atau busuk sebelum
matang. Hal ini mungkin akan merugikan
si pembeli, dan si penjual pun mengambil harganya dengan tidak ada
keuntungannya.
3.
Beberapa jual
beli yang sah, tetapi dilarang
Mengenai jual beli yang tidak diizinkan oleh agama,
disini akan diurakan beberapa cara sebagai contoh perbandingan. Yang menjadi
pokok sebab timbulnya larangan adalah: menyakiti si penjual, pembeli atau orang
lain, menyempitkan gerakan pasaran, merusak ketentraman umum.
a. Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari pada
harga pasar, sedangkan dia tidak menginginkan barang itu, tetapi semata-mata
supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu. Dalam hadis diterangkan bahwa
jual beli yang demikian itu dilarang.
b. Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih
dalam masa khiyar.
c. Mencegat orang-orang yang datang dari desa diluar
kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu mereka
belum mengetahui harga pasar.
Hal
ini tidak diperbolehkan karena dapat merugikan orang desa yang datang, dan
mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai di pasar.
d. Membeli barang
untuk ditahan agar dijual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan masyarakat
umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapat merusak ketentraman
umum.
e. Menjual sesuatu barang yang berguna, tetapi kemudian
dijadikan alat maksiat oleh yang membelinya.
f. Jual beli yang disertai tipuan, berarti dalam urusan
jual beli itu ada tipuan, baik dari pihak pembeli maupun dari penjual, pada
barang ataupun ukuran dan timbangannya.
Jual
beli tersebut dipandang sah, sedangkan hukumnya haram karena kaidah ulama fiqh
berikut ini: Apabila larangan dalam urusan muamalat itu karena hal yang di luar
urusan muamalat, larangan itu tidak menghalangi sahnya akad.
B. Hutang
– Piutang
1. Pengertian
Hutang Piutang
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang
atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh
secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang
diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan
potongan dari harta orang yang memberikan hutang.
Sedangkan secara terminologis (istilah
syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih
sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan
mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang
adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada
peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah
yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka
di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
2. أحكام القرض في
الفقه الإسلامي / Keutamaan Dan Bahaya Hutang Piutang Menurut Pandangan Islam
Di dalam kehidupan sehari-hari ini,
kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di
antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah
keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya
hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat
mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk
berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan
bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah
muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam
menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan
sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
3. Hukum Hutang Piutang
Hukum hutang piutang pada asalnya
diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau
pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan
dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil
yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman
Allah :
مَنْ
ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
(245)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman
kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka
Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245).
Sedangkan dalil dari Al-Hadits
adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi pernah meminjam
seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor
unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik
lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai
Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau
bersabda,
“Berikan saja kepadanya.
Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan
hutang.”
Nabi juga bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا
قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Setiap muslim yang memberikan
pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah
satu kali.” (HR. Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud . Hadits ini
di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar
As-sabil (no.1389).)
Sementara dari Ijma’, para ulama
kaum muslimin telah berijma’ tentang disyariatkannya hutang piutang
(peminjaman).
4. Peringatan Keras Tentang Hutang
Dari pembahasan di atas, kita telah
mengetahui dan memahami bahwa hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah
diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi
pernah berhutang. Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya
agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai
atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah ,
merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang
juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah (artinya):
“Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas
berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah pernah menolak
menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan
tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah bersabda:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ
الدَّيْنَ
“Akan diampuni orang yang mati syahid
semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah
bin Amr bin Ash ).
Diriwayatkan
dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah , bahwa Beliau bersabda:
مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ
مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari
jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama)
bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.”
(HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan
di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
Dari
Abu Huraira, bahwa Rasulullah bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى
يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa orang mukmin bergantung pada
hutangnya hingga dilunasi.” (HR. Ibnu Majah II/806 no.2413, dan At-Tirmidzi
III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ
مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa meninggal dunia dalam
keadaan menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan
diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak
(pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh
Al-Albani).
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ أَنَّهُ سَمِعَهُ يُحَدِّثُ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَامَ فِيهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ
« أَنَّ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالإِيمَانَ بِاللَّهِ أَفْضَلُ الأَعْمَالِ
». فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ
اللَّهِ تُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- « نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ
غَيْرُ مُدْبِرٍ ». ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَيْفَ قُلْتَ
». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ
مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ
قَالَ لِى ذَلِكَ »
Dari
Abu Qatadah, bahwasannya Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah para
sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman
kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang
sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di
jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah kepadanya “Ya, jika engkau gugur di jalan
Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.”
Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan hutang, karena sesungguhnya Jibril
’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (HR. Muslim III/1501 no: 1885,
At-Tirmidzi IV/412 no:1712, dan an-Nasa’i VI: 34 no.3157. dan di-shahih-kan
oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no: 1197).
5. Syarat Piutang Menjadi Amal Sholih
1. Harta yang dihutangkan adalah
harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur
dengan sesuatu yang haram.
2. Pemberi piutang / pinjaman tidak
mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun
perbuatan.
3. Pemberi piutang/pinjaman berniat
mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho
dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar
kebaikannya oleh orang lain).
4. Pinjaman tersebut tidak
mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.
6. Beberapa Adab Islami Dalam Hutang Piutang
Bagaimana Islam mengatur
berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api
neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:
[1].
Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya
firman Allah :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا
عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ
اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ
سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ
بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا
فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا
تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ
عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ
تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا
فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمٌ (282)
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dari-Nya untuk para
hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai,
hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih
menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengingatkan salah satu ayat: “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat
persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”.
[2]. Pemberi hutang atau pinjaman
tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap
hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah
satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
Dengan kata lain, bahwa pinjaman
yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam
bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman
kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si
peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan.
Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank
maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia
maupun di akhirat dari Allah .
Syaikh Shalih Al-Fauzan
–hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk
mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti
seseorang mengatakan, “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan
tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu,
atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan
tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang
terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau
karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka
tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan.
[3].
Melunasi hutang dengan cara yang baik
Hal ini sebagaimana hadits berikut
ini:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله
عليه وسلم – سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم
– « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا
. فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ النَّبِىُّ
– صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً »
Dari
Abu Hurairah , ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu)
seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (maka)
beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan
untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari
untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau
telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah membalas dengan setimpal”.
Maka Nabi bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam
pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.)
وعَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ
فِى الْمَسْجِدِ – وَكَانَ لِى عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِى وَزَادَنِى
Dari
Jabir bin Abdullah ia berkata: “Aku mendatangi Nabi di masjid, sedangkan
beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”.
(HR. Bukhari, II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264)
Termasuk cara yang baik dalam
melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah
ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang),
melunasi hutang di rumah atau tempat tinggal pemberi hutang, dan semisalnya.
[4].
Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan
tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk
tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang
yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar
bersenang-senang
c).
Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka
digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d). Berhutang dengan niat tidak
akan melunasinya.
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ
« مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ
أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ »
Dari
Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta
orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka
Allah akan
tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya,
pent), maka Allah akan membinasakannya”. (HR.Bukhari, II/841 bab man akhodza
amwala an-naasi yuridu ada’aha, no. 2257)
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke
dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda
Nabi di atas. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk
menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya.
Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang dia
peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah membinasakan hidupnya
dengan hutang tersebut. Allah melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak
kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut.
Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang kekal
nan abadi?
[5]. Berupaya untuk berhutang dari
orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
Sehingga dengan meminjam harta atau
uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa dan menjauhkannnya dari hal-hal
yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan
untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah.
Sedangkan orang yang jahat atau
buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang
haram.
[6].
Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak
mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat
mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada
kematian, atau semisalnya.
Tidak sepantasnya berhutang untuk
membeli rumah baru, kendaraan, laptop model terbaru, atau sejenisnya dengan
maksud berbangga-banggaan atau menjaga kegengsian dalam gaya hidup. Padahal dia
sudah punya harta atau penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya.
[7]. Tidak boleh melakukan jual
beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap
perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar
pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa
dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi :
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak
dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504,
At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini
hasan shahih”.)
Yakni
agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang
diharamkan.
[8]. Jika terjadi keterlambatan
karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada
orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari
menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari
dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang,
yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan
perpecahan.
[9]. Menggunakan uang pinjaman
dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus
dia kembalikan.
عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله
عليه وسلم- قَالَ « عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ »
Dari
Samurah, Nabi bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya,
hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam
kitab Al-buyu’, dan selainnya.)
[10]. Diperbolehkan bagi yang
berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga
mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Hal ini sebagaimana hadits berikut
ini (artinya):
Dari Jabir bin Abdullah, ia
berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan
hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi
jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi meminta syafaat
(bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau berkata, “Pisahkan
kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut
satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun
melakukannya. Beliau pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai
lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab
Al-Istiqradh, no. 2405)
[11].
Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia
berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki
kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda
pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat
zhalim. Sebagaimana hadits berikut:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ
« مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ
»
Dari
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang yang
dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu
dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih
(diterima pengalihan tersebut)”. (HR. Bukhari dalam Shahihnya IV/585 no.2287,
dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978, dari hadits Abu Hurairah.)
[12]. Memberikan Penangguhan waktu
kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh
tempo.
Allah berfirman:
وَإِنْ
كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280)
“Dan jika (orang yang berhutang itu)
dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang
sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ
– فَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا أَوْ لِيَضَعْ لَهُ
“Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah
dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pen), maka hendaklah ia menangguhkan
waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia
menggugurkan hutangnya.” (HR Ibnu Majah II/808 no. 2419. Dan di-shahih-kan oleh
syaikh Al-Albani)
قَالَ حُذَيْفَةُ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « إِنَّ
رَجُلاً كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَتَاهُ الْمَلَكُ لِيَقْبِضَ رُوحَهُ فَقِيلَ
لَهُ هَلْ عَمِلْتَ مِنْ خَيْرٍ قَالَ مَا أَعْلَمُ ، قِيلَ لَهُ انْظُرْ . قَالَ مَا
أَعْلَمُ شَيْئًا غَيْرَ أَنِّى كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فِى الدُّنْيَا وَأُجَازِيهِمْ
، فَأُنْظِرُ الْمُوسِرَ ، وَأَتَجَاوَزُ عَنِ الْمُعْسِرِ . فَأَدْخَلَهُ اللَّهُ
الْجَنَّةَ »
Dari sahabat Hudzaifah, beliau pernah
mendengar Rasulullah bersabda:
“Ada seorang laki-laki yang hidup di
zaman sebelum kalian. Lalu datanglah seorang malaikat maut yang akan mencabut
rohnya. Dikatakan kepadanya (oleh malaikat maut): “Apakah engkau telah berbuat
kebaikan?” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.” Malaikat maut berkata:
“ Telitilah kembali apakah engkau telah berbuat kebaikan.” Dia menjawab: “Aku
tidak mengetahui sesuatu pun amalan baik yang telah aku lakukan selain bahwa
dahulu aku suka berjual beli barang dengan manusia ketika di dunia dan aku
selalu mencukupi kebutuhan mereka. Aku memberi keluasan dalam pembayaran hutang
bagi orang yang memiliki kemampuan dan aku membebaskan tanggungan orang yang
kesulitan.” Maka Allah (dengan sebab itu) memasukkannya ke dalam surga.” (HR.
Bukhari III/1272 no.3266)
C. Riba
1.
Pengertian Riba
Asal
makna riba menurut bahasa Arab (raba-yarbu) atau dalam bahasa Inggrisnya
usury/interest ialah lebih atau bertambah (ziyadah/addition) pada
suatu zat, seperti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Misalnya si A
memberi pinjaman kepada si B, dengan Syarat si B harus mengembalikan uang pokok
pinjaman beserta sekian persen tambahannya. Riba dapat diartikan juga dengan
segala jual beli yang haram. Adapun yang dimaksud disini menurut istilah syara’
adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau
tidaknya menurut syara’, atau terlambat menerimanya.
2.
Beberapa Macam Riba
Secara
umum riba terbagi menjadi dua bagian, yakni riba nasi’ah dan riba al-fadhl.
a.
Riba Nasi’ah
Riba
nasi’ah (riba yang jelas, diharamkan karena keadaanya sendiri) diambil
dari kata an-nasu’, yang berarti menunda, jadi riba ini terjadi karena
adanya penundaan pembayaran hutang. Penjelasannya sebagai berikut.
Tambahan
yang disyaratkan, yang diambil oleh orang yang memberi hutang dari orang yang
berhutang. Misalnya, si A meminjam satu juta rupiah kepada si B dengan janji
waktu setahun pengembalian hutangnya. Setelah jatuh temponya, si A belum bisa
mengembalikan hutangnya kepada si B, maka si A menyanggupi untuk memberi
tambahan dalam pembayaran hutangnya.jika si B mau menambah/menunda jangka
waktunya. atau si B menawarkan kepada si A, “apakah engkau akan membayarnya
atau menundanya kembali dengan menanggung bunga?” Jika si B membayarnya, maka
ia tidak dikenakan tambahan. Sedangkan jika tidak dapat membayarnya, maka ia
menambahkan tangguh pembayaran dengan syarat bahwa ia nantinya harus
membayarnya dengan tambahan. Sehingga, akhirnya harta yang menjadi tanggungan
hutang orang tersebut pun menjadi terlipat ganda. Hal ini merupakan
praktek/kebiasaan Jahiliyah, Oleh karena itu, Allah mengharamkan hal itu,
dengan firmannya:
“ Dan jika (orang yang berutang itu)
dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (al-Baqarah:
280)
Maka
dari itu jika waktu hutang tersebut sudah jatuh tempo, semantara orang yang
berhutang itu kesulitan membayarnya, maka ia tidak boleh membalikan hutang
tersebut kepadanya, tapi harus siberikan tempo lagi. Sedangkan jika orang yang
berhutang itu berpunya, dan tidak sedang kesulitan, maka ia harus membayar
hutangnya, dan tidak perlu menambah nilai tanggungan hutangnya itu, baik orang
yang berhutang itu sedang mempunyai uang atau sedang sulit.
b.
Riba Fadhl
Riba
fadhl (riba yang samara, diharamkan karena sebab lain) berasal dari kata
al-fadhl, yang berarti tambahan dalam salah satu barang yang
dipertukarkan. Riba ini terjadi karena adanya tambahan pada jual beli
benda/barang yang sejenis.
Jadi
syariat telah menetapkan keharamannya dalam enam hal, yakni diantaranya adalah
emas, perak, gandum, kurma, garam. Dan jika salah satu barang-barang ini
diperjual belikan dengan jenis yang sama, maka hal itu diharamkan jika disertai
dengan adanya tambahan antara keduanya. Hal ini senada dengan apa yang
dikatakan oleh Sayid Sabiq bahwa riba fadhl ialah jual beli emas/perak
atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan (yang sejenis) dengan ada
tambahan.
Hal
ini berdasarkan dari hadist Nabi yang disampaikan Abu Said al-Khudri (yang juga
hampir senada dengan hadist yang disampaikan oleh ‘Ubadah bin al-Shamit ) :
“Emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandunm, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus
sama dan tunai. Maka barang siapa yang meminta tambahan maka sesungguhnya ia
memungut riba. Orang yang mengambil dan memberikan riba itu sama dosanya.”
(H.R. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)
Riba
ini diharamkan karena untuk mencegah timbulnya riba nasi’ah, sehingga ia
bersifat prefentif. Sebagian Ulama ada yang membedakan antara riba nasi’ah
dengan riba fadhl seperti membedakan antara berbuat zina dengan
memandang atau memegang wanita yang bukan mahramnya dengan nafsu syahwat.
Memandang atau memegang wanita seperti itu diharamkan karena untuk menghindari
perbuatan zina.
Sebagian
Ulama ada yang menambahkan selain kedua jenis riba tersebut diatas, yakni riba yad,
yaitu riba yang dilakukan karena berpisah dari tempat akad sebelum serah
terima terjadi. Kemudian Riba qardi yaitu hutang dengan syarat
ada keuntungan bagi yang memberi hutang. Namun secara umum keduanya termasuk
kedalam jenis riba nasi’ah dan riba fadhl. Pada dasarnya semua
agama samawi di dunia (revealed religion) melarang praktek riba, karena
dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mereka yang
terlibat riba pada khususnya.
Adapun
dampak akibat praktek dari riba itu sendiri diantaranya adalah sebagai berikut
:
1. Menyebabkan eksploatasi (pemerasan)
oleh si kaya terhadap si miskin, sehingga menjadiakan si kaya semakin berjaya
dan si miskin tambah sengsara.
2. Dapat menyebabkan kebangkrutan usaha
bila tidak disalurkan pada kegiatan-kegiatan yang produktif, karena kebanyakan
modal yang dikuasai oleh the haves (pengelola) justru disalurkan dalam
perkreditan berbunga yang belum produktif.
Menyebabkan kesenjangan ekonomi,
yang pada gilirannya bisa mengakibatkan kekacauan sosial. Karena Allah jelas
mengancam kita dalam QS. AlBaqarah{2}:275
Artinya:
disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya."
Riba
yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi
dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah. Jika dalam keseharian kita sehari-hari
atau bahasa sedikit kasar, yaitu rentenir (pemberi pinjaman), lintah darat atau
makelar yang melipat gandakan "bunga" pengembalian hingga
berlipat-lipat.
3. Ayat dan Hadist yang Melarang Riba
a. Firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Ali Imran : 130).
b. Firman Allah SWT :
“Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah : 275)
c. Firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya (Al-Baqarah : 278-279)”
d. Firman Allah SWT
“Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran dan bergelimang dosa ” (Al-Baqarah : 276)
e. Firman Allah SWT
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)” (Ar-Rum : 39)
f. Sabda Nabi SAW
“Dari Jabir : Rasulullah SAW
telah melaknat (mengutuk) orang yang memakan riba, wakilnya, penulisnya dan dua
saksinya” (HR. Muslim)
4.
Bunga Bank
Bunga
bank sendiri dapat diartikan berupa ketetapan nilai mata uang oleh bank yang
memiliki tempo/tenggang waktu, untuk kemudian pihak bank memberikan kepada
pemiliknya atau menarik dari si peminjam sejumlah bunga (tambahan) tetap
sebesar beberapa persen, seperti lima atau sepuluh persen.
Dengan
kata lain bunga bank adalah sebuah system yang diterapkan oleh bank-bank konvensional
(non Islam) sebagai suatu lembaga keuangan yangmana fungsi utamanya menghimpun
dana untuk kemudian disalurkan kepada yang memerlukan dana (pendanaan), baik
perorangan maupun badan usaha, yang berguna untuk investasi produktif dan
lain-lain.
Bunga
bank ini termasuk riba, sehingga bunga bank juga diharamkan dalam ajaran Islam.
Bedanya riba dengan bunga/rente (bank) yakni riba adalah untuk pinjaman yang
bersifat konsumtif, sedangkan bunga/rente (bank) adalah untuk pinjaman yang
bersifat produktif Namun demikian, pada hakikatnya baik riba, bunga/rente atau
semacamnya sama saja prakteknya, dan juga memberatkan bagi peminjam.
Maka
dari itu solusinya adalah dengan mendirikan bank Islam. Yaitu sebuah lembaga
keuangan yang dalam menjalankan operasionalnya menurut atau berdasarkan
syari’at dan hukum Islam. Sudah barang tentu bank Islam tidak memakai system
bunga, sebagaimana yang digunakan bank konvensional. Sebab system atau
cara seperti itu dilarang oleh Islam.
Sebagai
pengganti system bunga tersebut, maka bank Islam menggunakan berbagai macam
cara yang tentunya bersih dan terhindar dari hal-hal yang mengandung unsur
riba. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Wadiah (titipan uang, barang, dan surat
berharga atau deposito). Bisa diterapkan oleh bank Islam dalam operasionalnya
menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang,
barang dan surat-surat berharga sebagai amanah yang wajib dijaga keselamatannya
oleh bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa
harus membayar imbalannya tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu
kepada waktu pemiliknya membutuhkan
b.
Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana atas
dasar perjanjian profit and loss sharing).dengan cara ini, bank Islam
dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya baik besar
maupun kecil dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sama
sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty. Dalam mudharabah ini,
bank tidak mencapuri manajeman perusahaan.
c.
Musyarakah/ syirkah (persekutuhan). Di bawah kerja sama
cara ini, pihak bank dan pihak perngusaha mempunyai peranan (saham) pada usaha
patungan (joint venture.) karena itu, kedua belah pihak berpartisipasi
mengelola usaha patungan ini dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar
perjanjian tersebut.
d.
Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atas
dasar harga pembelian yang pertama secara jujur). Dengan cara ini, orang pada
hakikatnya ingin merubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam meminjam menjadi
transaksi jual beli (lending activity menjadi sale and purchase transaction).
Dengan system ini, bank bias membelikan/menyediakan barang-barang yang
diperlukan oleh pengusaha untuk dijual lagi, dan bank minta tambahan harga (cost
plus) atas harga pembelinya. Syarat bisnis dengan murabahah ini
ialah si pemilik barang dalam hal ini bank harus memberi informasi yang
sebenarnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit
margin) daripada cost plus-nya itu.
e.
Qargh Hasan (pinjaman yang baik atau bernevolent loan). Bank
Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga (benevolent loan) kepada
para nasabah yang baik, terutama nasabah yang punya deposito di bank Islam itu
sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para deposan,
karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.
f.
Bank Islam juga dapat menggunakan modalnya dan dana yang
terkumpul untuk investasi langsung dalam berbagai bidang usaha yang profitable.
Dalam hal ini, bank sendiri yang melakukan manajemennya secara langsung,
berbeda dengan investasi patungan, maka manajemennya dilakukan oleh bank
bersama partner usahanya dengan perjanjian profit and loss sharing.
g.
Bank Islam boleh pula mengelola zakat di Negara yang
pemerintahnya tidak mengelola zakat secara langsung. Dan bank juga dapat
menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif,
yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
h.
Bank Islam juga boleh memungut dan menerima pembayaran untuk:
1) Mengganti biaya-biaya yang langsung
dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan untuk kepetingan nasabah,
misalnya biaya telegram, telpon, telex dalam memindahkan atau memberitahukan
rekening nasabah dan sebagainya.
2) Membayar gaji para karyawan bank
yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, dan untuk sarana dan
prasarana yang disediakan oleh bank, dan biaya administrasi pada umumnya.
BAB III
A.
KESIMPULAN
B.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Muntaha
Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif
Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29.
HR. Bukhari
dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil (no.2390), dan Muslim dalam
kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600).
(Abufawaz.2011.Keutamaan dan Bahaya Hutang Piutang.
Diunduh pada Kamis, 11/10/2012 pukul : 17.00 WIB)
(Anonim.2011.Fiqih
Muamalah Hutang Piutang. Diunduh pada Kamis, 11/10/2012 pukul : 17.15 WIB).
Halo Setiap tubuh,
BalasHapusNama saya adalah Ibu Monica Roland. Saya tinggal di London Inggris dan saya seorang wanita senang hari ini? dan saya mengatakan kepada diri saya bahwa setiap pemberi pinjaman yang menyelamatkan keluarga saya dari situasi kita miskin, saya akan merujuk setiap orang yang mencari pinjaman kepadanya, dia memberi saya kebahagiaan bagi saya dan keluarga saya, saya sedang membutuhkan pinjaman sebesar $ 250,000.00 untuk memulai hidup saya seluruh karena saya seorang ibu tunggal dengan 3 anak-anak saya bertemu takut orang yang jujur dan ALLAH pemberi pinjaman yang membantu saya dengan pinjaman Dolar AS $ 250.000,00, ia adalah seorang ALLAH takut, jika Anda membutuhkan pinjaman dan Anda akan membayar kembali pinjaman silahkan menghubungi dia katakan padanya bahwa Ibu Monica Roland yang merujuk Anda kepadanya. Hubungi Pak James Tulang melalui email: (bestloansfinance02@gmail.com)
John Frank Kredit Investasi merupakan salah satu perusahaan pinjaman independen terkemuka di dunia. Kami mapan dan selama bertahun-tahun telah mengembangkan pemahaman yang baik tentang kebutuhan dan kebutuhan individu. Kami berkomitmen untuk memperlakukan pelanggan kami secara adil dan menawarkan layanan yang profesional, ramah dan akomodatif. Prosedur kami dirancang untuk cocok Anda untuk memastikan bahwa kami menyediakan produk yang sesuai dengan keadaan Anda, formalitas dikurangi seminimal mungkin, dan bersama-sama dengan pendekatan kami fleksibel untuk masing-masing program, memastikan bahwa penyelesaian tepat waktu permintaan pinjaman Anda.
BalasHapusKami telah membantu pelanggan mengubah dan memperbaiki kehidupan mereka selama lebih dari 47 tahun dan kami benar-benar independen, kita berada dalam posisi yang unik untuk menawarkan berbagai pinjaman untuk semua jenis bisnis dan individu.
Tujuan kami adalah untuk memenuhi kebutuhan keuangan Anda dan kepuasan Anda sangat penting bagi kami. Itu sebabnya kami memberikan pinjaman sebesar 2% bunga, jadi silakan isi informasi di bawah ini jika Anda tertarik dengan layanan kami
Email: johnfrankloaninvestment@gmail.com